Page

Kamis, 03 Februari 2011

Dakwah Mengajak Bukan Menghakimi

Dakwah itu menyerukan kebenaran dan kebaikan. Namun tidak akan menjadi kebaikan ketika melaksanakannya menggunakan cara yang tidak baik, melukai hati orang lain, maupun kata-kata yang kasar. Karena hal itu malah ibarat menggunting persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah). Berikut adalah penuturan kami dari berbagai wacana dan diskusi.

Latar belakang tulisan ini adalah fenomena banyaknya dai-dai dari sebuah jamaah yang senang sekali menyalah-nyalahkan dan dengan mudahnya membid’ah-bid’ahkan sesama kaum muslimin yang berbeda pendapat. Anak-anak muda yang baru belajar Islam, baru ikut ngaji sebulan-dua bulan sudah berani menghukumi saudaranya sesama muslim dengan “ini sesat!”, “itu bid’ah!”, “itu namanya khawarij!”, “itu fasik!”, dll. Yang lebih parah sampai mengkafir-kafirkan saudara sesama muslim.


Kami tertarik mengangkat masalah ini karena sudah hilangnya semangat ukhuwah Islamiyah yang ada diantara kelompok/jamaah-jamaah Islam.

Kalau dalam meraih kebangkitan Islam ini kita menghadapi musuh dari luar, itu suatu hal yang wajar. Sesuai dengan sunnah pertarungan antara haq dan yang batil. Namun kami merasa sangat prihatin jika musuh itu datang dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Tiap jamaah Islam yang satu dengan lainnya saling menjatuhkan. Padahal metode dakwah tiap jamaah Islam adalah ijtihad masing-masing jamaah, sesuai dengan penentuan sasaran, skala prioritas dan tahapannya.

Jenis-jenis Perbedaan dan Penyikapannya

Memang sikap dakwah yang mudah menghukumi, menyesat-nyesatkan, membid’ah-bid’ahkan, mengkafir-kafirkan kelompok lain yang berbeda seharusnya dihindari oleh umat Islam. Apalagi perbedaan itu hanya permasalahan yang bersifat cabang (furu’) dan bukan permasalahan yang prinsip (ushul). Padahal permasalahan cabang (furu’) terkadang hanya disebabkan perbedaan pemahaman terhadap dalil maupun pelaksanaannya. Sebagian besar ulama menganggap bahwa masalah yang masuk kategori cabang, mustahil mencapai ijma’ (kesepakatan jumhur ulama-red).

Oleh karena itu tak perlu kita menyikapi sampai dengan cara sekasar itu karena sikap kita untuk perbedaan dalam masalah furu’/cabang masih ditolerir. Sedangkan sering kita temui tuduhan-tuduhan yang kasar dan ‘berbahaya’ mulai yang ringan seperti tuduhan orang yang melakukan qunut subuh dianggap melakukan bid’ah, yang terawih 23 rakaat dianggap ahlul bid’ah, sampai yang parah sampai berkoar-koar mengkafir-kafirkan, menyesat-nyesatkan aktifis harakah, Ikhwanul Muslimin, MMI, PKS, bahkan Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh pun kecipratan cap ‘sesat’, juga saudara-saudara kita umat Islam lainnya yang tidak sefaham.

Dalam sebuah selebaran Jum’at pernah kami menemui artikel yang menyebut-nyebut pergerakan Islam di Palestina bernama HAMAS dengan sebutan ‘murtad HAMAS’, karena HAMAS dituduh memicu pertikaian antar sesama rakyat Palestina. Yang mereka sebut itu (murtad-red) otomatis termasuk juga para pemimpin muslimin di dalamnya dan termasuk juga Asy-Syahid Syeikh Ahmad Yassin dan Asy-Syahid DR. Abdul Aziz Ar-Rantisi yang mati-matian melindungi Masjidil Aqsha dari ancaman zionis Izrael. Apakah dakwah seperti ini yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Menuduh dan menghakimi tanpa kroscek dahulu yang bersangkutan tentang kebenarannya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membersihkan nama hambanya yang shaleh dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar.

Kalau perbedaan yang bersifat prinsip (ushul), tidak dapa ditolerir karena sudah merupakan kesepakatan penafsiran sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan seluruh tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seluruh ulama Ahlus Sunnah sampai saat ini. Misalnya yang menyangkut Rukun Iman. Banyak juga golongan-golongan yang memiliki pemikiran menyimpang dalam masalah akidah yang sudah dikenal sejak masa sahabat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Syiah. Menghukumi prinsip menyimpang seperti itu dengan hukum sesat, sudah pasti disepakati oleh jumhur ulama sepanjang sejarah. Jadi sangat berbeda, sikap kita terhadap perbedaan yang hanya bersifat cabang (furu’) –seperti berbeda dalam hal mahzab fikih dan lain-lain- dengan masalah-masalah yang prinsip (ushul). Masalah prinsip lebih prioritas untuk kita sikapi dibanding masalah cabang, namun tetap dalam koridor penyikapan yang baik dan bersifat mendakwahi atau menasihati pada kebenaran.

Tidak ada Satupun Orang yang Mau Di Hukumi Sembarangan

Dakwah dengan menghakimi itu adalah dakwah paling mudah. Karena tanpa ilmu dan asal bicara saja sudah bisa jadi juru dakwah seperti itu. Namun bukan itu tujuan kita, karena tak ada satupun orang yang mau dihakimi ahlul bid’ah, sesat atau kafir. Bahkan orang-orang kafir pun (misalnya orang Kristen-red) tidak ada yang mau dituduh dengan  kita mengatakan, “kamu itu kafir!”. Apalagi dalam hal ini yang dituduh saudara kita sesama muslim, yang mungkin ilmunya, kuantitas dan kualitas ibadahnya bisa jadi lebih baik dari yang menuduh sesat itu. Wallahu a’lam.

Banyak juga kelompok-kelompok yang mencela saudaranya sesama muslim dengan mebid’ah-bid’ahkan sikapnya dalam berdakwah melalui politik. Hingga begitu mudahnya menghukumi tanpa mengkroscek yang bersangkutan mengenai alasan-alasan dan dalil-dalil yang mereka jadikan hujjah hingga harus berbuat demikian.

Dalil-dalil Larangan Dakwah dengan Menuduh dan Menghukumi

Dalam seatu kesempatan, Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah (w. 1420 H) berkata, “Wajib atas penuntut ilmu dan ahlul ilmi untuk bernusnuhzh-zhan terhadap saudara mereka para ulama. Mereka juga harus berkata yang baik dan menjauhi perkataan yang buruk. Sesungguhnya para dai yang menyeru kejalan Allah ‘Azza wa Jalla itu mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat. Sehingga, yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu (thullabul ‘ilmi) tersebut adalah membantu tugas mereka dengan cara berbicara yang baik-baik, dengan gaya bahasa yang santun, dan dengan sangkaan yang positif; tidak dengan cara yang keras dan kasar, tidak pula dengan cara mencari-cari kesalahan mereka dan menyebar-luaskannya untuk membuat orang lari dari sisi fulan dan fulan…”

Adapun Syaikh Al-Allamah Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (w. 1423 H), ketika ditanya pendapat beliau tentang kebiasaan sebagian penuntut Ilmu yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, beliau menjawab, “Ini tidak boleh! Mencari-cari kesalahan kaum muslimin apalagi para ulama, adalah haram. Dalam hadits dikatakan, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya tetapi imannya tidak masuk kedalam hatinya; Janganlah kalian mencari-cari kesalahan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa yang suka mengumbar aurat saudaranya, maka Allah akan membuka auratnya, sekalipun dia berada di pangkuan ibunya,” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad) yakni -sekalipun ia berada- di rumah ibunya. Oleh karena itu, kita tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan, mencari-cari kesalahan orang lain itu sendiri adalah merupakan suatu kesalahan…”

Kesimpulannya…
Pada dasarnya dalam hal menghukumi dan menuduh sikap umat Islam yang lain itu harus ‘super’ hati-hati. Memerlukan bukti yang sangat jelas, pengakuan dari yang bersangkutan serta memerlukan kesepakatan ulama tentang sikap tersebut. Ditambah lagi setiap persoalan tidak bisa dipukul rata dan dihukumi sama sesatnya, atau sama bid’ahnya.[adit]

Tulisan ini dimuat di SA’I ZINE #2

Download (majalah) SA’I ZINE di link SA’I Muslim atau di http://www.saimuslim.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar